Senin, April 19, 2010
Surat untuk Keluarga
KOMISI KELUARGA (KomKel)
KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA
Gedung Karya Pastoral,
Jl. Katedral no. 7,
JAKARTA 10710
021.3519193, 021.3855752
Jakarta, 10 April 2010.
Kepada keluarga-keluarga kristiani
Se-Keuskupan Agung Jakarta
di tempat
Salam damai dalam kasih Keluarga Kudus Yesus, Maria dan Yosep.
Kita baru saja merayakan Paskah, inti pokok iman kristiani. Maka mengawali perjumpaan kita bulan ini, saya mengucapkan SELAMAT PASKAH kepada Anda semua, keluarga-keluarga kristiani di Keuskupan Agung Jakarta. Bulan yang lalu, saya mengajak Anda semua, untuk menyadari penting dan tak tergantikannya komunikasi tatap muka di dalam keluarga.
Pada bulan April ini saya mengajak Anda, keluarga-keluarga kristiani, untuk merenungkan beberapa segi yang dapat kita jadikan teladan dari semangat Keluarga Kudus Nazareth, Yesus, Maria dan Yusuf. Kita sering mendengar ungkapan-ungkapan lepas, seperti “orang itu patut menjadi teladan, dia adalah guru teladan, anak itu menjadi murid teladan di sekolahnya, desa itu menjadi teladan kebersihan, dan ungkapan-ungkapan lain yang menggambarkan bahwa, hidup seseorang atau bahkan hidup sekelompok orang layak menjadi acuan bagi hidup orang lain juga. Keteladanan merupakan sesuatu yang penting dalam mengusahakan dan mencapai kehidupan yang lebih baik. Barangkali kisah berikut ini bisa membantu memberikan pemahaman, betapa sebuah keteladanan sangatlah penting karena ikut membantu mengarahkan hidup. Ada seorang ayah dengan dua orang anak. Anak yang pertama duduk di bangku SMP. Sedangkan anak yang kedua duduk di bangku Sekolah Dasar. Usai makan malam, sang ayah selalu menyuruh anaknya untuk belajar. Tetapi kedua anaknya tak pernah mau menuruti ayahnya. Kedua anak itu malah asyik bermain. Sebagai buahnya ialah: prestasi belajar kedua anak itu terus menurun. Pada suatu malam, sang ayah begitu kesal dengan perilaku kedua anaknya yang tidak mau belajar sekalipun sang ayah sudah mengingatkan, melainkan menghabiskan waktu untuk bermain. Dengan nada marah, sang ayah membentak kedua anak itu dan berkata,”kenapa tidak belajar? Kenapa bermain saja? Mau jadi anak bodoh?”, dan bermacam-macam ungkapan kemarahan yang lain. Anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, dengan nada gemetar karena takut berkata,”bagaimana kami bisa belajar? Papi sendiri aja asyik menonton TV”. Mendengar ungkapan polos dari anaknya yang masih kecil itu, sang ayah baru menyadari, bahwa kedua anaknya bukanlah anak yang malas. Mereka tak mau belajar karena meniru perilaku ayah mereka. Sejak saat itu, sang ayah tak mau lagi menonton TV usai makan malam. Bersama isterinya, dia memilih menemani kedua anaknya belajar 1-1,5 jam. Dan sebagai hasilnya ialah: prestasi belajar kedua anaknya meningkat.
Kisah di atas menggambarkan betapa pentingnya teladan dan contoh hidup lebih daripada semua maksud baik yang diungkapkan dengan kata-kata, termasuk kata-kata bijak sekalipun. Dalam perkawinan dan hidup berkeluarga hal ini begitu kentara. Seorang ayah yang menekankan pentingnya belajar bagi anak-anaknya, harus juga memberikan teladan dan contoh kepada anak-anaknya bahwa belajar memang penting. Pasangan suami-isteri yang memilih untuk mengakhiri perkawinan dengan perpisahan karena merasa sudah tak cocok lagi dengan pasangan, tentu saja menjadi sukar mendidik anak-anaknya untuk mengusahakan kesetiaan dalam perkawinan. Tentu saja, ada banyak sekali kisah yang mengungkapkan bahwa teladan dan contoh hidup mempunyai kekuatan untuk mengarahkan hidup orang.
Terkait dengan perkawinan dan hidup berkeluarga, masihkah ada teladan yang bisa dijadikan pola bagi keluarga-keluarga, suami-isteri dan anak-anak dalam mengembangkan kebersamaan sebagai keluarga? Bukankah perkawinan dan hidup berkeluarga saat ini mengalami banyak sekali tantangan? Terhadap pertanyaan pertama, jawabannya jelas yaitu: ada. Terhadap pertanyaan kedua, jawaban yang bisa diberikan ialah: justeru karena perkawinan dan hidup berkeluarga saat ini mengalami banyak sekali tantangan, maka orang perlu mencari dan menemukan model, pola, teladan yang sempurna dari perkawinan dan hidup berkeluarga.
Model, pola, teladan yang sempurna dari perkawinan dan hidup berkeluarga ialah: KELUARGA KUDUS NAZARETH. Kita dapat menemukan dalam Keluarga Kudus semua kebajikan terlebih terkait perkawinan dan hidup berkeluarga. Yesus, Maria dan Yosef, hidup bersama dalam semangat rukun dan damai. Hidup bersama dalam semangat rukun dan damai terjadi karena setiap pribadi berkembang dalam iman kepada Tuhan, bertumbuh dalam kasih kepada Tuhan dan sesama, bekerjasama saling menolong dan tidak memaksakan kehendak. Kisah Yesus pada umur 12 tahun di dalam Bait Allah (Luk 2:41-52), merupakan salah satu contoh kisah yang menggambarkan bahwa Maria dan Yosef bekerjasama mendidik, memperhatikan, dan mengasuh Yesus sehingga makin berkembang sebagai pribadi yang berkenan kepada Allah dan sesama.
Keluarga Kudus merupakan teladan yang sempurna dari Hidup bersama dalam semangat rukun dan damai di dalam perkawinan dan hidup berkeluarga. Keluarga Kudus bisa menjadi obat bagi setiap luka dalam perkawinan dan hidup berkeluarga yang disebabkan oleh konflik suami-isteri, konflik orang tua-anak. Keluarga Kudus mengajari setiap anggota di dalam keluarga untuk mengusahakan hidup bersama yang rukun dan damai.
Demikianlah, misalnya: seorang suami bisa belajar dari Santo Yosef mengenai teladan sempurna untuk bekerjasama bersama isterinya mendidik dan mengasuh anak. Seorang isteri bisa belajar dari Bunda Maria mengenai teladan sempurna dari kasih ke-ibuan terhadap anak. Seorang anak bisa belajar dari Yesus mengenai teladan sempurna dari kepatuhan dan hormat terhadap orang tua. Hidup bersama dalam semangat rukun dan damai diungkapkan dengan kata-kata...”Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazareth; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya” (Luk 2:51).
Sampai jumpa pada edisi mendatang.
Salam dalam nama Keluarga Kudus, Yesus, Maria dan Yosep
Rm. Ignas Tari, MSF
Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Agung Jakarta
KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA
Gedung Karya Pastoral,
Jl. Katedral no. 7,
JAKARTA 10710
021.3519193, 021.3855752
Jakarta, 10 April 2010.
Kepada keluarga-keluarga kristiani
Se-Keuskupan Agung Jakarta
di tempat
Salam damai dalam kasih Keluarga Kudus Yesus, Maria dan Yosep.
Kita baru saja merayakan Paskah, inti pokok iman kristiani. Maka mengawali perjumpaan kita bulan ini, saya mengucapkan SELAMAT PASKAH kepada Anda semua, keluarga-keluarga kristiani di Keuskupan Agung Jakarta. Bulan yang lalu, saya mengajak Anda semua, untuk menyadari penting dan tak tergantikannya komunikasi tatap muka di dalam keluarga.
Pada bulan April ini saya mengajak Anda, keluarga-keluarga kristiani, untuk merenungkan beberapa segi yang dapat kita jadikan teladan dari semangat Keluarga Kudus Nazareth, Yesus, Maria dan Yusuf. Kita sering mendengar ungkapan-ungkapan lepas, seperti “orang itu patut menjadi teladan, dia adalah guru teladan, anak itu menjadi murid teladan di sekolahnya, desa itu menjadi teladan kebersihan, dan ungkapan-ungkapan lain yang menggambarkan bahwa, hidup seseorang atau bahkan hidup sekelompok orang layak menjadi acuan bagi hidup orang lain juga. Keteladanan merupakan sesuatu yang penting dalam mengusahakan dan mencapai kehidupan yang lebih baik. Barangkali kisah berikut ini bisa membantu memberikan pemahaman, betapa sebuah keteladanan sangatlah penting karena ikut membantu mengarahkan hidup. Ada seorang ayah dengan dua orang anak. Anak yang pertama duduk di bangku SMP. Sedangkan anak yang kedua duduk di bangku Sekolah Dasar. Usai makan malam, sang ayah selalu menyuruh anaknya untuk belajar. Tetapi kedua anaknya tak pernah mau menuruti ayahnya. Kedua anak itu malah asyik bermain. Sebagai buahnya ialah: prestasi belajar kedua anak itu terus menurun. Pada suatu malam, sang ayah begitu kesal dengan perilaku kedua anaknya yang tidak mau belajar sekalipun sang ayah sudah mengingatkan, melainkan menghabiskan waktu untuk bermain. Dengan nada marah, sang ayah membentak kedua anak itu dan berkata,”kenapa tidak belajar? Kenapa bermain saja? Mau jadi anak bodoh?”, dan bermacam-macam ungkapan kemarahan yang lain. Anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, dengan nada gemetar karena takut berkata,”bagaimana kami bisa belajar? Papi sendiri aja asyik menonton TV”. Mendengar ungkapan polos dari anaknya yang masih kecil itu, sang ayah baru menyadari, bahwa kedua anaknya bukanlah anak yang malas. Mereka tak mau belajar karena meniru perilaku ayah mereka. Sejak saat itu, sang ayah tak mau lagi menonton TV usai makan malam. Bersama isterinya, dia memilih menemani kedua anaknya belajar 1-1,5 jam. Dan sebagai hasilnya ialah: prestasi belajar kedua anaknya meningkat.
Kisah di atas menggambarkan betapa pentingnya teladan dan contoh hidup lebih daripada semua maksud baik yang diungkapkan dengan kata-kata, termasuk kata-kata bijak sekalipun. Dalam perkawinan dan hidup berkeluarga hal ini begitu kentara. Seorang ayah yang menekankan pentingnya belajar bagi anak-anaknya, harus juga memberikan teladan dan contoh kepada anak-anaknya bahwa belajar memang penting. Pasangan suami-isteri yang memilih untuk mengakhiri perkawinan dengan perpisahan karena merasa sudah tak cocok lagi dengan pasangan, tentu saja menjadi sukar mendidik anak-anaknya untuk mengusahakan kesetiaan dalam perkawinan. Tentu saja, ada banyak sekali kisah yang mengungkapkan bahwa teladan dan contoh hidup mempunyai kekuatan untuk mengarahkan hidup orang.
Terkait dengan perkawinan dan hidup berkeluarga, masihkah ada teladan yang bisa dijadikan pola bagi keluarga-keluarga, suami-isteri dan anak-anak dalam mengembangkan kebersamaan sebagai keluarga? Bukankah perkawinan dan hidup berkeluarga saat ini mengalami banyak sekali tantangan? Terhadap pertanyaan pertama, jawabannya jelas yaitu: ada. Terhadap pertanyaan kedua, jawaban yang bisa diberikan ialah: justeru karena perkawinan dan hidup berkeluarga saat ini mengalami banyak sekali tantangan, maka orang perlu mencari dan menemukan model, pola, teladan yang sempurna dari perkawinan dan hidup berkeluarga.
Model, pola, teladan yang sempurna dari perkawinan dan hidup berkeluarga ialah: KELUARGA KUDUS NAZARETH. Kita dapat menemukan dalam Keluarga Kudus semua kebajikan terlebih terkait perkawinan dan hidup berkeluarga. Yesus, Maria dan Yosef, hidup bersama dalam semangat rukun dan damai. Hidup bersama dalam semangat rukun dan damai terjadi karena setiap pribadi berkembang dalam iman kepada Tuhan, bertumbuh dalam kasih kepada Tuhan dan sesama, bekerjasama saling menolong dan tidak memaksakan kehendak. Kisah Yesus pada umur 12 tahun di dalam Bait Allah (Luk 2:41-52), merupakan salah satu contoh kisah yang menggambarkan bahwa Maria dan Yosef bekerjasama mendidik, memperhatikan, dan mengasuh Yesus sehingga makin berkembang sebagai pribadi yang berkenan kepada Allah dan sesama.
Keluarga Kudus merupakan teladan yang sempurna dari Hidup bersama dalam semangat rukun dan damai di dalam perkawinan dan hidup berkeluarga. Keluarga Kudus bisa menjadi obat bagi setiap luka dalam perkawinan dan hidup berkeluarga yang disebabkan oleh konflik suami-isteri, konflik orang tua-anak. Keluarga Kudus mengajari setiap anggota di dalam keluarga untuk mengusahakan hidup bersama yang rukun dan damai.
Demikianlah, misalnya: seorang suami bisa belajar dari Santo Yosef mengenai teladan sempurna untuk bekerjasama bersama isterinya mendidik dan mengasuh anak. Seorang isteri bisa belajar dari Bunda Maria mengenai teladan sempurna dari kasih ke-ibuan terhadap anak. Seorang anak bisa belajar dari Yesus mengenai teladan sempurna dari kepatuhan dan hormat terhadap orang tua. Hidup bersama dalam semangat rukun dan damai diungkapkan dengan kata-kata...”Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazareth; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya” (Luk 2:51).
Sampai jumpa pada edisi mendatang.
Salam dalam nama Keluarga Kudus, Yesus, Maria dan Yosep
Rm. Ignas Tari, MSF
Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Agung Jakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar